Senin, 21 Maret 2011

AIR BORNE DISEASES


AIR BORNE DISEASES
Penularan agen infeksius melalui airborne adalah penularan penyakit yang disebabkan oleh penyebaran droplet nuklei yang tetap infeksius saat melayang di udara dalam jarak jauh dan waktu yang lama. Penularan melalui udara dapat dikategorikan lebih lanjut menjadi penularan “obligat” atau penularan “preferensial”.
1.         Transmisi airborne obligat adalah penularan patogen hanya melalui deposit droplet nuklei dalam kondisi alami (misalnya, tuberkulosis paru-paru).
2.         Transmisi airborne preferensial melalui udara adalah penularan patogen yang dapat menimbulkan infeksi melalui banyak cara, tapi cara yang paling dominan adalah penularan melalui droplet nuklei (misalnya, campak, cacar air).

ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT)

PENDAHULAN
ISPA sering disalahartikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Namun yang benar adalah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah (3).
ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru (2,4). Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumoni bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian (2).
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia.

EPIDEMIOLOGI
ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah. Begitu pula, ISPA merupakan salah satu penyebab utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak. Bakteri adalah penyebab utama infeksi saluran pernapasan bawah, dan Streptococcus pneumoniae di banyak
negara merupakan penyebab paling umum pneumonia yang didapat dari luar rumah sakit yang disebabkan oleh bakteri (6).
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. 40 % -60 % dari kunjungan diPuskesmas adalah oleh penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % -30 %. Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan (1,2).
Data morbiditas penyakit pneumonia di Indonesia per tahun berkisar antara 10 -20 % dari populasi balita. Hal ini didukung oleh data penelitian dilapangan (Kecamatan Kediri, NTB adalah 17,8 % ; Kabupaten Indramayu adalah 9,8 %). Bila kita mengambil angka morbiditas 10 % pertahun, ini berarti setiap tahun jumlah penderita pneumonia di Indonesia berkisar 2,3 juta .Penderita yang dilaporkan baik dari rumah sakit maupun dari Puskesmas pada tahun 1991 hanya berjumlah 98.271. Diperkirakan bahwa separuh dari penderita pneumonia didapat pada kelompok umur 0-6 bulan (3).

ETIOLOGI
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu. Namun demikian, di dalam pedoman ini, ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Contoh patogen yang menyebabkan ISPA adalah rhinovirus, respiratory syncytial virus, paraininfluenzaenza virus, severe acute respiratory syndromeassociated coronavirus (SARS-CoV), dan virus Influenza. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus pneumoniae jarang ditemukan pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin, semua radang telinga akut harus mendapat antibiotik (3).

PENULARAN
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya (4). Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bawah, asma dan ibro kistik, menempati bagian yang cukup besar pada lapangan pediatri. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin.
Tetapi ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene. Risiko terutama terjadi pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi silang, beban imunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan cacing, serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotik (5).

GEJALA DAN TANDA
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan.
Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda laboratoris. Tanda-tanda klinis yaitu:
·         Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing.
·         Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan cardiac arrest.
·         Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil bendung, kejang dan koma.
·         Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.
Tanda-tanda laboratoris, antara lain:
·         hypoxemia,
·         hypercapnia dan
·         acydosis (metabolik dan atau respiratorik) (1).
Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor, Wheezing, demam dan dingin (1).

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan :
·      Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.
·      Imunisasi.
·      Menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan.
·      Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
Pemberantasan yang dilakukan adalah :
·      Penyuluhan kesehatan yang terutama ditujukan pada para ibu.
·      Pengelolaan kasus yang disempurnakan dan Imunisasi (4).

PELAKSANA PEMBERANTASAN
Tugas pemberatasan penyakit ISPA merupakan tanggung jawab bersama. Kepala Puskesmas bertanggung jawab bagi keberhasilan pemberantasan di wilayah kerjanya. Sebagian besar kematiaan akibat penyakit pneumonia terjadi sebelum penderita mendapat pengobatan petugas Puskesmas. Karena itu peran serta aktif masyarakat melalui aktifitas kader akan sangat membantu menemukan kasus-kasus pneumonia yang perlu mendapat pengobatan antibiotik (kotrimoksasol) dan kasus-kasus pneumonia berat yang perlu segera dirujuk ke rumah sakit, dokter puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut :
·         Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai dengan dana atau sarana dan tenaga yang tersedia,
·         Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA kepada perawat atau paramedis,
·         Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus- kasus pneumonia berat/penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh perawat/paramedis dan merujuknya ke rumah sakit bila dianggap perlu,
·         Memberikan pengobatan terhadap kasus pneumonia berat yang tidak bisa dirujuk ke rumah sakit terdekat,
·         Bersama dengan staff puskesmas memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu yang mempunyai anak balita. perihal pengenalan tanda-tanda penyakit pneumonia serta tindakan penunjang di rumah,
·         Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang di beri wewenang mengobati penderita penyakit ISPA,
·         Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat memberikan penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyaki ISPA,
·         Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi keberhasilan pemberantasan penyakit ISPA. menditeksi hambatan yang ada serta menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan pelaporan serta pencapaian target.
Sedangkan untuk paramedis puskesmas pembantu mempunyai tugas sebagai berikut :
·         Melakukan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA sesuai petunjuk yang ada.
·         Melakukan konsultasi kepada dokter Puskesmas untuk kasus-kasus ISPA tertentu seperti pneumoni berat, penderita dengan weezhing dan stridor.
·         Bersama dokter atau dibawah, petunjuk dokter melatih kader.
·         Memberi penyuluhan terutama kepada ibu-ibu.
·         Melakukan tugas-tugas lain yang diberikan oleh pimpinan Puskesmas sehubungan dengan pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA.
Kemudian untuk kader kesehatan mempunyai tugas sebagai berikut :
·         Dilatih untuk bisa membedakan kasus pneumonia (pneumonia berat dan pneumonia tidak berat) dari kasus-kasus bukan pneumonia.
·         Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk pilek biasa (bukan pneumonia) serta penyakit pneumonia kepada ibu-ibu serta perihal tindakan yang perlu dilakukan oleh ibu yang anaknya menderita penyakit
·         Memberikan pengobatan sederhana untuk kasus-kasus batuk pilek (bukan pneumonia) dengan tablet parasetamol dan obat batuk tradisional obat batuk putih.
·         Merujuk kasus pneumonia berat ke Puskesmas/Rumah Sakit terdekat.
·         Atas pertimbangan dokter Puskesmas maka bagi kader-kader di daerah-daerah yang terpencil (atau bila cakupan layanan Puskesmas tidak menjangkau daerah tersebut) dapat diberi wewenang mengobati kasus-kasus pneumonia (tidak berat) dengan antibiotik kontrimoksasol.
·         Mencatat kasus yang ditolong dan dirujuk (1,2).

DAFTAR PUSTAKA
1. DepKes RI. 1992. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Direktorat Jenderal PPM & PLP: Jakarta.
2.  ____________. 1991. Bimbingan Ketrampilan Dalam Penatalaksanaan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Anak. Jakarata, hal. 10.
3. ____________. 1992. Lokakarya Dan Rakernas Pemberantasan Penyakit Infeksi saluran pernapasan akut.
4.  _____________. 1992. Pendekatan Epidemiologi I dan Dasar-Dasar Surveilans. Untuk Pelatihan Prajabatan Umum dan Khusus Tenaga Paramedis di Puskesmas. Jakarta.
5.  Rendie, J, et.al. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak. Alih bahasa: Eric Gultom. Binarupa Aksara: Jakarta.
6.  WHO. 2008. Pedoman Interim WHO: Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. WHO: Jenewa. http://www.who.or.id/h1n1/docs/WHO_CDS_EPR_2007_8bahasa.pdf. Diakses pada 20 Maret 2011. 
Nama : Redhita Rizky Shantania P. 
NIM : E2A009033
Reg. : 1/2009

FOOD AND WATER BORNE DISEASES

FOOD AND WATER BORNE DISEASES

Penyakit yang penularannya disebabkan oleh masuknya zat-zat patogen ke dalam  makanan dan minuman, atau dikenal dengan:
  • Water borne disease, seperti: cholera, tifus, hepatitis, dll
  • Food borne disease, seperti: salmonellosis, disentri, dll

DEMAM TIFOID

PENDAHULUAN
Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita. Penyebaran bakteri ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun setelah berkemih, Lalat juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan. Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam peredaran darah. Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan usus besar. Pada kasus yang berat, yang bisa berakibat fatal, jaringan yang terkena bisa mengalami perdarahan dan perforasi (perlubangan).
Sekitar 3% penderita yang terinfeksi oleh Salmonella typhi dan belum mendapatkan pengobatan, di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama lebih dari 1 tahun. Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-gejala dari demam tifoid. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.

EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Seperti penyakit menular lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang yang higiene pribadi dan sanitasi lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung dari lokasi, kondisis lingkungan setempat, dan perilaku masyarakat. Angka insidensi di Amerika Serikat tahun 1990 adalah 300-500 kasus per tahun dan terus menurun. Prevalensi di Amerika Latin sekitar 150/100.000 penduduk setiap tahunnya, sedangkan prevalensi di Asia jauh lebih banyak yaitu sekitar 900/10.000 penduduk per tahun. Meskipun demam tifoid menyerang semua umur, namun golongan terbesar tetap pada usia kurang dari 20 tahun.

ETIOLOGI
Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi. Salmonella adalah bakteri Gram Negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagela, dan tidak membentuk spora. Kuman ini mempunyai tiga antigen yang penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu :
·           Antigen O (somatik)
·           Antigen H (flagela), dan
·           Antigen K (selaput)
Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57°C selama beberapa menit. Manifestasi klinis demam tifoid tergantung dari virulensi dan daya tahan tubuh. Suatu percobaan pada manusia dewasa menunjukkan bahwa 107 mikroba dapat menyebabkan 50% sukarelawan menderita sakit, meskipun 1000 mikroba juga dapat menyebabkan penyakit. Masa inkubasinya adalah 10-20 hari.

PENULARAN
Penularan penyakit adalah melalui air dan makanan. Bakteri Salmonella typhi dapat bertahan lama dalam makanan. Penggunaan air minum secara massal yang tercemar bakteri sering menyebabkan terjadinya KLB. Vektor berupa serangga juga berperan dalam penularan penyakit.

GEJALA DAN TANDA
Biasanya gejala mulai timbul secara bertahap dalam waktu 8-14 hari setelah terinfeksi. Gejalanya bisa berupa demam, sakit kepala, nyeri sendi, sakit tenggorokan, sembelit, penurunan nafsu makan dan nyeri perut. Kadang penderita merasakan nyeri ketika berkemih dan terjadi batuk serta perdarahan dari hidung. Jika pengobatan tidak dimulai, maka suhu tubuh secara perlahan akan meningkat dalam waktu 2-3 hari, yaitu mencapai 39,4-40°C selama 10-14 hari. Panas mulai turun secara bertahap pada akhir minggu ketiga dan kembali normal pada minggu keempat. Demam seringkali disertai oleh denyut jantung yang lambat dan kelelahan yang luar biasa. Pada kasus yang berat bisa terjadi delirium, stupor atau koma. Pada sekitar 10% penderita timbul sekelompok bintik-bintik kecil berwarna merah muda di dada dan perut pada minggu kedua dan berlangsung selama 2-5 hari.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah, tinja, air kemih atau jaringan tubuh lainnya guna menemukan bakteri penyebabnya.

TATALAKSANA PENGOBATAN
Tirah baring selama demam sampai dengan 2 minggu, hingga dapat normal kembali. Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% penderita dapat disembuhkan. Antibiotik yang banyak digunakan adalah kloramfenikol 100mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari. Dosis maksimal kloramfenikol 2g/hari. Kloramfenikol tidak bisa diberikan bila jumlah leukosit < 2000 ul. Bila pasien alergi, dapat diberikan golongan penisilin atau kotrimoksazol. Kadang makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan. Jika terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena berbagai jenis bakteri akan masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki atau mengangkat bagian usus yang mengalami perforasi.

KOMPLIKASI
·           Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan sempurna, tetapi dapat terjadi komplikasi, terutama pada penderita yang tidak diobati/bila pengobatannya terlambat,
·           Banyak penderita yang mengalami perdarahan usus, sekitar 2% mengalami perdarahan hebat. Biasanya perdarahan terjadi pada minggu ketiga,
·           Perforasi usus terjadi pada 1-2% penderita dan menyebabkan nyeri perut yang hebat karena isi usus menginfeksi ronga perut (peritonitis),
·           Pneumonia bisa terjadi pada minggu kedua atau ketiga dan biasanya terjadi akibat infeksi pneumokokus (meskipun bakteri tifoid juga bisa menyebabkan pneumonia),
·           Infeksi kandung kemih dan hati,
·           Infeksi darah (bakteremia) kadang menyebabkan terjadinya infeksi tulang (osteomielitis), infeksi katup jantung (endokarditis), infeksi selaput otak (meningitis), infeksi ginjal (glomerulitis) atau infeksi saluran kemih-kelamin,
·           Pada sekitar 10% kasus yang tidak diobati, gejala-gejala infeksi awal kembali timbul dalam waktu 2 minggu setelah demam mereda.

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN SUMBER INFEKSI
Pengendalian adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat mengelola, mengatur serta mengawasi, agar tifoid tidak bermasalah lagi bagi masyarakat. Seluruh tenaga kesehatan baik dalam bidang kuratif, preventif atau kegiatan lain yang terkait, sebenarnya adalah pengendali tifoid. Dengan mengetahui cara penyebaran penyakit maka dapat dilakukan pengendalian dengan menerapkan dasar-dasar hygiene dan kesehatan masyarakat yaitu melakukan deteksi dan isolasi terhadap sumber infeksi, dengan turut memperhatikan untuk faktor kebersihan lingkungan, pembuangan sampah dan proses chlorinasi air minum, perlindungan terhadap suplai makanan dan minuman, peningkatan ekonomi dan peningkatan kebiasaan hidup sehat serta mengurangi populasi lalat (sebagai agent reservoir).
Memberikan pendidikan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan (terutama pemeriksaan tinja) secara berkala terhadap penyaji makanan baik pada industri makanan maupun restoran. Selain itu yang sangat penting adalah sterilisasi pakaian, bahan dan alat-alat yang digunakan pasien dengan memberikan antiseptik, dianjurkan bagi setiap pengunjung untuk mencuci tangan dengan sabun dan memberikan desinfektan pada saat mencuci pakaian.
Deteksi carrier dilakukan dengan cara test darah dan diikuti dengan pemeriksaan tinja dan urine yang dilakukan berulang-ulang. Pasien yang carrier positif diperlukan pengawasan yang lebih ketat yaitu dengan memberikan informasi tentang hygiene perorangan dan cara meningkatkan standar hygiene agar tidak berbahaya bagi orang lain.
Vaksin tifus per-oral (ditelan) memberikan perlindungan sebesar 70%, namun vaksin ini hanya diberikan kepada orang-orang yang telah terpapar oleh bakteri Salmonella typhi dan orang-orang yang memiliki resiko tinggi (termasuk petugas laboratorium dan para pelancong). Alternatif cara lain yang dapat dilakukan adalah menghindari makan sayuran mentah dan makanan lainnya yang disajikan atau disimpan di dalam suhu ruangan dan memilih makanan yang masih panas atau makanan yang dibekukan, minuman kaleng dan buah berkulit yang bisa dikupas.

REFERENSI
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. Erlangga: Jakarta.
Rasmilah. 2001. Thypus. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara: USU. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3745/1/fkm-rasmaliah5.pdf. Diakses pada 20 Maret 2011.
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA (KEPMENKES RI) NOMOR 364/MENKES/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf. Diakses pada 20 Maret 2011.

Nama : Redhita Rizky Shantania P.
NIM : E2A009033
Reg. : 1/2009
FKM UNDIP